Penemuan Fosil Monster Danau
Penemuan Fosil Monster Danau | Ahli paleontologi Museum of Texas Tech University menegaskan temuan fosil di Danau wilayah Texas merupakan spesies dinosaurus baru dari jenis phytosaurus, yang hidup pada masa Triassic akhir, atau sekitar 205 juta tahun lalu. Blog ini tentang Informasi Unik dan Menarik
Dilansir Ibtimes, Senin 3 Febuari 2014 fosil kepala dengan panjang 5,2 meter itu mirip dengan buaya pada zaman modern saat ini.
Fosil tersebut adalah salah satu dari dua fosil ini sudah ditemukan pada 2001 silam di sebuah peternakan Texas Panhandle. Fosil pertama ditemukan dalam kondisi kurang baik sedangkan fosil kedua memiliki moncong sepanjang 0,6 meter. Peneliti terkejut dengan temuan ini.
"Kami semua kagum dengan jenis ini. Fosil moncong kurus ini telah lama. Tapi ini sedikit berbeda dari tengkorak pyhtosaurus yang ditemukan sebelumnya," ujar Doug Cunningham, asisten peneliti lapangan Museum of Texas Tech University yang juga pemimpin studi dalam sebuah pernyataan.
Setelah didalami, didiskusikan selama 12 tahun, peneliti memutuskan fosil itu merupakan jenis phytosaurus baru. Fosil itu akhirnya dinamai Machaeroprosopus lottorum, menyesuaikan pemilik peternakan.
Sementara peneliti lain dalam studi, Bill Mueller, menjelaskan pada dasrnya fosil yang ditemukan itu sama dengan gaya hidup buaya modern, termasuk tinggal di dalam dan sekitar air, makan ikan atau hewan apapun yang berada di pinggiran sungai dan danau.
"Tapi perbedaan besarnya pada lubang luar, yaitu hidungnya," ujar Bill yang juga asisten kurator paleontologi Museum of Texas Tech University.
Habitat spesies baru ini diperkirakan hidup dan berkembang di lahan hutan subur Amerika Utara atau Amerika Serikat bagian Selatan. Melihat strukturnya, spesies ini juga dijuluki 'monster rawa'.
Meski mengejutkan peneliti, spesies Machaeroprosopus lottorum bukanlah spesies seperti buaya terbesar dalam catatan sejarah. Pada 2012 lalu, peneliti mengungkap sisa fosil predator sepanjang 8,2 meter, Crocodylus thorbjarnarsoni. Peneliti mengatakan spesies ini hidup di danau dalam di Kenya sekitar 2 sampai 4 juta tahun lalu.
Temuan studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Earth and Environmental Science Transactions of the Royal Society of Edinburgh. (teknologi.news.viva)
Dilansir Ibtimes, Senin 3 Febuari 2014 fosil kepala dengan panjang 5,2 meter itu mirip dengan buaya pada zaman modern saat ini.
Fosil tersebut adalah salah satu dari dua fosil ini sudah ditemukan pada 2001 silam di sebuah peternakan Texas Panhandle. Fosil pertama ditemukan dalam kondisi kurang baik sedangkan fosil kedua memiliki moncong sepanjang 0,6 meter. Peneliti terkejut dengan temuan ini.
"Kami semua kagum dengan jenis ini. Fosil moncong kurus ini telah lama. Tapi ini sedikit berbeda dari tengkorak pyhtosaurus yang ditemukan sebelumnya," ujar Doug Cunningham, asisten peneliti lapangan Museum of Texas Tech University yang juga pemimpin studi dalam sebuah pernyataan.
Setelah didalami, didiskusikan selama 12 tahun, peneliti memutuskan fosil itu merupakan jenis phytosaurus baru. Fosil itu akhirnya dinamai Machaeroprosopus lottorum, menyesuaikan pemilik peternakan.
Sementara peneliti lain dalam studi, Bill Mueller, menjelaskan pada dasrnya fosil yang ditemukan itu sama dengan gaya hidup buaya modern, termasuk tinggal di dalam dan sekitar air, makan ikan atau hewan apapun yang berada di pinggiran sungai dan danau.
"Tapi perbedaan besarnya pada lubang luar, yaitu hidungnya," ujar Bill yang juga asisten kurator paleontologi Museum of Texas Tech University.
Habitat spesies baru ini diperkirakan hidup dan berkembang di lahan hutan subur Amerika Utara atau Amerika Serikat bagian Selatan. Melihat strukturnya, spesies ini juga dijuluki 'monster rawa'.
Meski mengejutkan peneliti, spesies Machaeroprosopus lottorum bukanlah spesies seperti buaya terbesar dalam catatan sejarah. Pada 2012 lalu, peneliti mengungkap sisa fosil predator sepanjang 8,2 meter, Crocodylus thorbjarnarsoni. Peneliti mengatakan spesies ini hidup di danau dalam di Kenya sekitar 2 sampai 4 juta tahun lalu.
Temuan studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Earth and Environmental Science Transactions of the Royal Society of Edinburgh. (teknologi.news.viva)